Selasa, 02 September 2008

Alimun, Penjaga Hutan Palolo

KOMPAS/RENY SRI AYU TASLIM / Kompas Images
Alimun
Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 2 September 2008
Oleh
Reny Sri Ayu Taslim

Siang hari itu Alimun memperlihatkan buah-buah kakao dari kebunnya di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dengan bangga ia menunjukkan buah-buah kakao yang rata-rata sebesar buah pepaya lokal.

Buah kakao itu ada yang berwarna kuning, ada yang merah tua. Semuanya tampak segar. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan buah kakao biasa yang kecil dan kulit buahnya mengerut. Perbandingannya, bila 1 kilogram kakao lokal berisi 25 buah, kakao dari kebun Alimun 10-16 buah.

Buah-buah kakao di kebunnya adalah hasil sambung samping dan persilangan antara bibit kakao lokal dan bibit asal Jember dan dari beberapa daerah lain. Persilangan dan sambung samping dilakukan sendiri oleh Alimun.

Ada dua alasan mengapa ia bersemangat menerapkan sistem sambung samping pada tanamannya. Pertama, akibat serangan hama penggerek buah yang sudah bertahun-tahun menyerang tanaman kakao petani setempat dan hampir semua petani kakao di Sulteng. Hasilnya, selain mendapat batang dan buah baru dari pohon yang sama, hama penggerek buah juga sedikit demi sedikit teratasi.

Hal yang lebih penting, nilai jual kakao berkualitas bagus jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kakao biasa. Kalau kakao hasil sambung samping Alimun bisa menembus harga Rp 17.000 per kg, kakao biasa umumnya dihargai Rp 10.000 per kg.

Alasan lain, mengajak petani kakao dan warga setempat untuk bercocok tanam komoditas yang lebih menjanjikan. Alimun berharap petani atau warga setempat lebih berminat bercocok tanam dan tak lagi menebang pohon. Ia juga mengajak peladang berpindah yang kerap membabat hutan untuk kebun agar beralih menanam kakao.

Upayanya tak sia-sia karena banyak peladang berpindah yang lalu bercocok tanam secara menetap dan tak lagi masuk-keluar hutan, membabat pohon untuk kebun. Untuk usahanya ini, Alimun mendapat penghargaan dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

”Memang yang membabat hutan itu orang luar, tetapi kadang mereka memanfaatkan warga sini atau orang lain. Ya, namanya dijanjikan uang dalam jumlah banyak dan waktu yang tak lama, tentu banyak yang berminat. Ini tanpa memperhitungkan akibat dari kerusakan hutan. Nah, kalau tanaman kakao tumbuhnya bagus, harganya bagus, semoga mereka berminat menanam kakao dan meninggalkan pekerjaan membabat hutan,” ujarnya.

Tak hanya bercocok tanam kakao kualitas bagus, Alimun juga memelihara lebah hutan. Untuk ini, Alimun punya alasan sederhana. Sebab, lebah membutuhkan makanan dari hutan, mau tidak mau hutan harus dijaga. Selain itu, lebah berfungsi mengawinkan tanaman bunga, tanpa perlu tangan manusia.

Tentu saja madu hasil dari lebah hutan ini bernilai jual tinggi. Pasarnya jelas ada, bahkan kerap Alimun kewalahan memenuhi pesanan. Lebah pun bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.

Apa yang ia lakukan, kendati pada awalnya tak digubris warga setempat, perlahan-lahan mulai diikuti orang. Warga mulai belajar sambung samping dan memelihara lebah hutan. Alimun juga membantu pemasarannya kendati dengan cara konvensional, promosi dari mulut ke mulut dan menitipkan barang kepada pedagang.

Menjaga hutan

Apa yang dilakukan Alimun adalah urusan menjaga hutan. Berada di kawasan sekitar Taman Nasional Lore Lindu, ia merasa bertanggung jawab ikut menjaga. Tanggung jawabnya tak sekadar karena ia menjadi Ketua Lembaga Adat Pitunggota Nagata Kaili di Desa Bobo, Kecamatan Palolo. Tanggung jawabnya juga karena kesadaran betapa penting menjaga hutan demi menyelamatkan lingkungan.

Sebagian hutan di sekitar Kecamatan Palolo yang juga tanah adat adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu. Luasnya sekitar 48,5 hektar. Jadi, penjagaannya pun diserahkan kepada masyarakat dan lembaga adat setempat bersama petugas taman nasional.

Di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun—melalui lembaga adat setempat—membentuk Badan Konservasi dan Penyelamat Hutan yang beranggotakan pemuda setempat. Dengan pemahaman pentingnya menjaga hutan, mereka rela bekerja masuk-keluar hutan tanpa bayaran.

Warga dengan senang hati melaporkan bila tahu ada aktivitas mencurigakan di hutan, semisal suara mesin gergaji. Melalui badan konservasi ini, informasi tentang aktivitas penebangan liar di hutan bisa cepat diketahui.

”Dalam perjalanan kami memantau hutan, sering kami dapati bagian di dalam hutan yang gundul. Saya sering berjalan-jalan di hutan dan melihat bagian dalam hutan itu sudah sangat rusak. Kadang kami bertemu dengan mereka yang menebang pohon. Kami lakukan pendekatan dan memberi mereka pemahaman,” ujarnya.

Pendekatan yang dilakukan Alimun, kendati membuat ia sampai harus menginap berhari-hari di hutan, menampakkan hasil. Setidaknya penebangan liar di sekitar desanya makin berkurang.

Sebagai Ketua Lembaga Adat Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Alimun tetap menghidupkan petuah pendahulu tentang menjaga mata air dan hutan. ”Sejak tahun 1950-an kami punya aturan, apabila mata air dirusak, hutan diganggu, akan dihukum denda. Dendanya bisa berupa kambing, sapi, kerbau, dan lainnya. Kayu tebangan disita. Sampai sekarang ini masih dipatuhi,” tuturnya.

Bencana banjir

Kesadaran Alimun menjaga hutan bukan tanpa sebab. Bencana banjir yang melanda desanya pada 2003 dan 2004 membuka matanya betapa hutan mulai rusak.

”Kalau hutan di sini rusak, bukan hanya desa ini yang menerima dampaknya, melainkan juga Kota Palu. Banyak sungai dari daerah Donggala yang melewati Kota Palu dan bermuara di Teluk Palu. Kalau hutan di Donggala rusak, Palu yang letaknya di dataran rendah, paling parah terkena dampaknya,” katanya.

Alimun tak salah. Sejak beberapa tahun lalu sejumlah wilayah di Palu menjadi langganan banjir atau genangan air. Setiap kali hujan di wilayah Donggala, terutama di hulu sungai, sungai-sungai yang melewati jalan dan permukiman penduduk di Palu meluap.

Kenyataan ini pula yang membuat Alimun terus mencari cara untuk menggugah kesadaran warga atau penebang liar untuk menghentikan aktivitas menebang pohon. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, ia aktif mengikuti berbagai pertemuan tentang lingkungan.

[ Kembali ]

Polisi Menangkap Pencuri Alat

Pemantau Aktivitas Gunung
KOMPAS/ANTONY LEE / Kompas Images
Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Komisaris Besar Taufik Ansorie (kiri) memeriksa barang bukti berupa sel surya di Markas Polres Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (2/9). Barang bukti berupa sembilan lempeng sel surya ini dicuri oleh lima pelaku dari Pos Pengamatan Kawah Woro, Gunung Merapi, pertengahan Juli lalu.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Rabu, 3 September 2008.

BOYOLALI, KOMPAS - Kepolisian Resor Boyolali, Jawa Tengah, membekuk empat warga yang diduga mencuri alat pendukung seismograf yang berfungsi memantau aktivitas Kawah Woro, Gunung Merapi. Polisi menemukan sembilan sel surya yang jadi sumber energi pos pemantauan, tetapi tiga aki kering dan handy talky sudah dijual pelaku.

Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Komisaris Besar Taufik Ansorie didampingi Kepala polres Boyolali Ajun Komisaris Besar Agus Suryo Nugroho, Selasa (2/9), menyesalkan tindakan para pencuri karena bisa membahayakan masyarakat mengingat fungsi alat ini sebagai sistem peringatan dini. Saat ini polisi mengejar satu pelaku lain yang masih buron.

Akibat pencurian pada 15 Juli itu, seismograf di puncak Merapi di Kabupaten Boyolali tidak berfungsi karena tidak ada pasokan energi. Sementara itu, kabel di menara pemancar sepanjang 15 meter raib.

Energi berasal dari sembilan sel surya yang menyerap energi matahari kemudian dialirkan ke aki kering. Hal ini menjadi sumber energi untuk mengaktifkan seismograf dan handy talky (HT). HT terhubung dengan menara pemancar untuk memantau suara gemuruh dari kawah.

Penangkapan pertama terjadi pada 13 Agustus terhadap tersangka Kuat Tiyono (36), Sriyono (32), dan Temu (44). Mereka adalah warga Dusun Gumuh, Desa Mriyan, Kecamatan Musuk, Boyolali. Dari pengakuan pelaku, polisi menemukan dua lempeng sel surya yang disembunyikan di jurang yang berjarak 300 meter dari rumah Sriyono.

Kemudian polisi menangkap Pardi (31) di Parakan, Magelang, pada 29 Agustus. Polisi masih mengejar Komet yang diduga sebagai otak pencurian.

Pardi mengaku diajak Komet mengambil tiga aki kering, tujuh lempeng sel surya, satu unit HT dan 15 meter kabel. Dua lempeng sel surya yang tersisa ditinggal di lokasi. Saat petugas pemantau di Kecamatan Selo, Boyolali, memeriksa ke puncak, dia menemukan peralatan berantakan dan hanya tersisa dua sel surya.

Saat polisi naik sehari kemudian, dua sel surya yang tersisa juga raib. Sel surya tersebut ternyata dibawa oleh ketiga pelaku yang belakangan melintasi daerah itu.

Menurut Kuat, dia dan dua temannya menemukan dua sel surya saat mencari tanaman obat. Lempengan berbentuk seperti papan dengan panjang 120 sentimeter dan lebar 50 sentimeter ini, menurut Kuat, akan digunakan untuk membuat meja.

”Kami menyesalkan minimnya penjagaan terhadap alat vital ini. Dalam waktu dekat, kami akan mengembalikan alat-alat ini ke Balai Penyelidikan dan Penelitian Kegunungapian di Yogyakarta agar seismograf bisa segera berfungsi,” kata Taufik. (GAL)

[ Kembali ]